DETIL BERITA

Beragam Hambatan dalam Sidang Pidana Elektronik

14-12-2020

Beragam Hambatan dalam Sidang Pidana Elektronik

Oleh Aida Mardatillah

 

Secara khusus, Perma ini bertujuan menjamin hak-hak terdakwa untuk secepatnya mendapatkan kepastian hukum atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya melalui persidangan tanpa penundaan yang tidak semestinya.

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma Sidang Pidana Online). Perma ini mengatur tata cara pelaksanaan persidangan perkara pidana baik perkara pidana dalam lingkup peradilan umum, militer, maupun jinayat secara daring (online).

Perma yang diteken Ketua MA M. Syarifuddin pada 25 September 2020 ini disusun oleh Pokja berdasarkan SK KMA No. 108/KMA/IV/2020 tentang Kelompok Kerja Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Perma ini sebagai tindak lanjut Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada 13 April 2020 lalu.

Namun, pelaksanaan Perma ini dinilai masih terdapat beberapa kendala/hambatan yang harus dicarikan solusinya ketika persidangan perkara pidana digelar secara daring. Peneliti Senior dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil menilai pada dasarnya Perma ini majelis hakim dan panitera pengganti ada di dalam ruang sidang sesuai hukum acara yang berlaku. Untuk itu, dapat dikatakan substansi Perma ini tidak menyimpang terlalu jauh dari KUHAP, jadi pihak lain seperti terdakwa, pengacara yang berada diluar sidang.

“Namun, apabila terjadi lockdown ketika pandemi Covid-19, berarti tetap saja pengadilan harus libur dan persidangan diundur lagi. Maka, tantangannya bagaimana seharusnya menciptakan sistem dan infrastruktur agar jika terjadi lockdown persidangan tetap dapat berjalan,” kata Arsil dalam diskusi daring bertajuk “Sidang Pidana Elektronik dan Implikasinya terhadap HAM”, Kamis (10/12/2020).

Webinar ini merupakan sosialisasi Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik kepada aparat penegak hukum, pemangku kebijakan terkait, dan publik.

Arsil mengatakan Perma Sidang Pidana Secara Elektronik ini mengatur posisi penasehat hukum di satu tempat dengan kliennya yang berstatus terdakwa. Tetapi, terdapat aturan lain dari institusi lainnya (lapas/rutan, red), yang tidak bisa mengatur penasehat hukum dengan terdakwa dalam satu ruang yang sama.

“Hal ini dapat menghambat proses persidangan, dimana komunikasi terdakwa dan penasehat hukum tidak lancar dalam praktek persidangan melalui video konferensi, ini perlu dicari solusinya ke depan,” kata dia.

Hambatan lain, kata Arsil, dalam persidangan pidana online belum didukung sistem keamanan yang baik, sehingga persidangan menjadi rentan. Seperti, keamanan pengiriman dokumen elektronik, gangguan teknis audio, jaringan, bisa saja terjadi saat sidang. “Kita hanya dapat melihat gambar yang ada di satu layar kecil, kita tidak tahu, apakah ada orang lain di belakangnya saat sidang elektronik berlangsung,” katanya.

Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia mengatakan beberapa pengadilan mulai menerapkan sistem persidangan pidana online. Sidang pidana online ini berpengaruh pada perlindungan HAM, khususnya terhadap tersangka, terdakwa, dan korban. “Problemnya terkait akses pendampingan, kita menemukan adanya keterbatasan akses terhadap advokat, dampaknya terdakwa dan advokat berada di tempat yang berbeda. Ini berpengaruh pada kualitas pendampingan hukum dan proses pemeriksaan bukti,” kata Lasma dalam kesempatan yang sama.

Tah hanya itu, bagaimana proses pembuktian dilakukan, bagaimana memastikan ke- valid-an (keabsahan) barang barang bukti. Hal ini berpengaruh pada kualitas pemeriksaan dan pembelaan terdakwa dalam proses persidangan. Kemudian, ketersediaan sarana dan prasarana dan tempat-tempat terdakwa melakukan persidangan, apakah sudah memadai infrastruktur pendukungnya, seperti jaringan internet dan sarana pendukung lain.

“Ini juga yang menjadi salah satu hambatan,” kata dia.

Hambatan lain, kata dia, bagi kelompok rentan, seperti kasus kekerasan terhadap perempuan, penyandang disabilitas, bagaimana menangani kasus-kasus seperti ini dalam persidangan elektronik? “Hak-hak bagi kelompok rentan ini harus terpenuhi dengan mendapat pendampingan hukum yang berkualitas,” ujarnya.

“Ketika persidangan pidana dilakukan secara online, terpenting harus terpenuhinya hak-hak pihak yang berhadapan dengan hukum dalam pemenuham HAM dan persidangan yang adil dan berkualitas (efektif, red).”

Saat pembukaan diskusi ini, Ketua MA M. Syarifuddin yang didampingi Ketua Kamar MA Suhadi, mengungkapkan permasalahan pelaksanaan sidang pidana di masa pandemi. Pertama, kesulitan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa yang ditahan secara langsung ke dalam ruang sidang karena kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang tidak mengizinkan tahanan ke luar Rumah Tahanan. Kedua, persidangan perkara pidana yang sulit untuk ditunda hingga masa pandemi Covid-19 berakhir mengingat adanya batas waktu penahanan terdakwa yang erat kaitannya dengan hak asasi para terdakwa.

“Sebagai upaya mencari solusi atas permasalahan yang timbul, pada tanggal 13 April 2020, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan Perjanjian Kerja Sama tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference. Perjanjian Kerja Sama ini dilakukan sebagai respon atas kondisi penyebaran Covid-19 yang semakin meluas dan mengkhawatirkan terhadap proses penegakan hukum, terutama peradilan pidana,” ujar M. Syarifuddin.

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, MA melakukan sosialisasi Perma No. 4 Tahun 2020. Melalui Perma ini, MA ingin memberi jaminan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), yang merupakan jaminan bagi perlindungan hak bagi setiap orang dalam proses peradilan. Secara khusus, Perma ini bertujuan menjamin hak-hak terdakwa untuk secepatnya mendapatkan kepastian hukum atas tindak pidana yang didakwakan padanya melalui persidangan tanpa penundaan yang tidak semestinya.

Perma ini juga menegaskan jaminan bahwa Terdakwa yang didampingi Penasihat Hukum dapat berkomunikasi secara langsung dan diberikan waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaan sebagaimana yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 beserta Komentar Umum ICCPR No. 32.

 

Sumber : https://www.hukumonline.com

KEORGANISASIAN

PELAYANAN

LINK TERKAIT

PROFIL JDIH BANYUWANGI

SOSIAL MEDIA

KUNJUNGAN