DETIL BERITA
Perlu Jalan Tengah Perbaiki Sistem Pemilu Proporsional

Memadupadankan kelebihan masing-masing sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Oleh : Rofiq Hidayat
Perdebatan penggunaan sistem pemilu secara terbuka atau tertutup memasuki tahun politik kembali muncul. Kendati telah ditegaskan melalui UU no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penyelenggaraan pemilihan umum menggunakan sistem proporsional terbuka, namun terdapat pihak yang menghendaki kembali ke sistem proposional tertutup. Terlepas ada kelebihan dan kekurangan kedua sistem proporsional tersebut, perlu dicarikan jalan tengah.
“Perlu pemikiran sintesis sebagai jalan tengahnya dengan cara memadukan kelebihan masing-masing sistem,” ujar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatahjana melalui keterangannya tertulisnya, Selasa (7/2/2023).
Diskursus publik sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup mesti diakui masih menyisakan sejumlah perdebatan. Widodo menuturkan, dalam kajian lembaga negara yang dipimpinnya, sistem proporsional tertutup maupun terbuka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karenanya, jalan tengah yang dapat ditempuh dengan memadupadankan kelebihan kedua sistem proporsional.
Dia mengatakan, kelebihan-kelebihan yang terdapat pada sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup dapat digabungkan. Dengan demikian, kekurangan yang terdapat pada sistem pemilu existing dapat dieliminir. “Ini jalan tengah untuk memperbaiki sistem Pemilu kita saat ini,” ujarnya.
Soal adanya permohonan uji materil terhadap terhadap Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017, Widodo yakin sembilan hakim Mahkamah Konstitusi bakal memposisikan diri sebagai negarawan yang berpikir besar bagi kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, tak terpengaruh oleh kekuasaan manapun. Termasuk sembilan hakim MK bakal menyerap gagasan publik dan bijak dalam putusannya.
Guru Besar bidang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember (Unej) itu yakin putusan MK bakal meningkatkan kualitass demokrassi dan sistem pemilu yang ada. Termasuk memberikan penguatan terhadap partai politik dan sistem kaderisasinya. Serta meningkatkan kualitas para wakil rakyat di parlemen.
“Juga mengantisipasi masuknya paham demokrasi liberal dan individualisme yang dapat merusak paham demokrasi kita yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat, penerapan sistem proporsional terbuka dalam praktik penyelenggaraan pemilu sejak 2004 telah tepat. Dia pun mengaku tak sependapat dengan adanya upaya mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem demokrasi langsung memilih orang sudah tepat.
“Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Pria yang kini menjadi politisi Partai Gelora itu menilai, bila pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional tertutup, dampaknya akuntabilitas politik bakal rusak. Menurutnya, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin mesti dilakukan secara langsung, bukan malah melalui perantara partai politik.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago berpandangan terhadap sistem proporsional terbuka dan tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti halnya kelemahan sistem proporsional tertutup. Pertama, sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.
Menurutnya, calon anggota legilatif (Caleg) terpilih bakal jarang terjun ke daerah pemilihan (dapil) untuk bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung. Soalnya, caleg terpilih bertanggung jawab langsung kepada partai, bukan konstituen. Makanya sistem proporsional tertutup, sumber kekuasaan berada didaulat elit partai politik, bukan rakyat.
Kedua, proporsional tertutup acapkali membuat caleh enggan berjibaku dalam mengkampanyekan dirinya dan partai. Lagi-lagi penyebabnya, kecenderungan cara pandang yang bakal terpilih caleg prioritas dengan nomor urut satu. Sebaliknya, bukan berbasis suara terbanyak. ”Itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg,” lanjutnya.
Ketiga, sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal. Karenanya, sistem proporsional tertutup belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Keempat, bakal membuat penguatan kelompok oligarki di internal partai politik. Bahkan memungkinkan adanya pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.
“Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak enggak kenal dengan daftar list nama calegnya. Pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya,” kata dia.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno (UBK) itu berpendapat upaya mengembalikan disain sistem pemilu proporsional tertutup menjadi koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka. Baginya, kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.
Menurutnya, kekuatan sistem propoprsional terbuka terletak pada figur kandidat populis. Tapi di lain sisi, melemahkan partai politik. Malahan tidak menghormati proses kaderisasi di partai politik. Sementara proprosional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik. Baginya, terdapat sejumlah alasan sistem proporsional terbuka mampu merusak partai politik.
Dia menilai proporsional terbuka dapat melemahkan partai politik ketika adanya caleg yang benar-benar kampanye menggunakan visi dan misi yang telah disusun partai. Karenanya, para caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya masing-masing. “Bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain,” kata dia.
Dia melanjutkan proporsional terbuka cenderung menyebabkan pemilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian. Nah sistem proporsional terbuka ditengarai menyebabkan salah satu alasan rendahnya party identification alias derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan. Berdasarkan pengamatannya, hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
“Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu persentase party-ID di Indonesia tetap rendah,” ujarnya.
<body id="cke_pastebin" absolute; top: -10px; width: 1px; height: 280px; overflow: hidden; margin: 0px; padding: 0px; left: -1000px;">Memadupadankan kelebihan masing-masing sistem proporsional terbuka dan tertutup.
Oleh:
Rofiq Hidayat
Perdebatan penggunaan sistem pemilu secara terbuka atau tertutup memasuki tahun politik kembali muncul. Kendati telah ditegaskan melalui UU no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penyelenggaraan pemilihan umum menggunakan sistem proporsional terbuka, namun terdapat pihak yang menghendaki kembali ke sistem proposional tertutup. Terlepas ada kelebihan dan kekurangan kedua sistem proporsional tersebut, perlu dicarikan jalan tengah.
“Perlu pemikiran sintesis sebagai jalan tengahnya dengan cara memadukan kelebihan masing-masing sistem,” ujar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatahjana melalui keterangannya tertulisnya, Selasa (7/2/2023).
Diskursus publik sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup mesti diakui masih menyisakan sejumlah perdebatan. Widodo menuturkan, dalam kajian lembaga negara yang dipimpinnya, sistem proporsional tertutup maupun terbuka masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karenanya, jalan tengah yang dapat ditempuh dengan memadupadankan kelebihan kedua sistem proporsional.
Dia mengatakan, kelebihan-kelebihan yang terdapat pada sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup dapat digabungkan. Dengan demikian, kekurangan yang terdapat pada sistem pemilu existing dapat dieliminir. “Ini jalan tengah untuk memperbaiki sistem Pemilu kita saat ini,” ujarnya.
Soal adanya permohonan uji materil terhadap terhadap Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017, Widodo yakin sembilan hakim Mahkamah Konstitusi bakal memposisikan diri sebagai negarawan yang berpikir besar bagi kepentingan bangsa dan negara. Dengan demikian, tak terpengaruh oleh kekuasaan manapun. Termasuk sembilan hakim MK bakal menyerap gagasan publik dan bijak dalam putusannya.
Guru Besar bidang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember (Unej) itu yakin putusan MK bakal meningkatkan kualitass demokrassi dan sistem pemilu yang ada. Termasuk memberikan penguatan terhadap partai politik dan sistem kaderisasinya. Serta meningkatkan kualitas para wakil rakyat di parlemen.
“Juga mengantisipasi masuknya paham demokrasi liberal dan individualisme yang dapat merusak paham demokrasi kita yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat, penerapan sistem proporsional terbuka dalam praktik penyelenggaraan pemilu sejak 2004 telah tepat. Dia pun mengaku tak sependapat dengan adanya upaya mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem demokrasi langsung memilih orang sudah tepat.
“Itu auratnya demokrasi. Aurat itu harus dijaga, jangan malah yang tidak penting ditutup,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Pria yang kini menjadi politisi Partai Gelora itu menilai, bila pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional tertutup, dampaknya akuntabilitas politik bakal rusak. Menurutnya, transaksi politik antara rakyat dan pemimpin mesti dilakukan secara langsung, bukan malah melalui perantara partai politik.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago berpandangan terhadap sistem proporsional terbuka dan tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti halnya kelemahan sistem proporsional tertutup. Pertama, sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.
Menurutnya, calon anggota legilatif (Caleg) terpilih bakal jarang terjun ke daerah pemilihan (dapil) untuk bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung. Soalnya, caleg terpilih bertanggung jawab langsung kepada partai, bukan konstituen. Makanya sistem proporsional tertutup, sumber kekuasaan berada didaulat elit partai politik, bukan rakyat.
Kedua, proporsional tertutup acapkali membuat caleh enggan berjibaku dalam mengkampanyekan dirinya dan partai. Lagi-lagi penyebabnya, kecenderungan cara pandang yang bakal terpilih caleg prioritas dengan nomor urut satu. Sebaliknya, bukan berbasis suara terbanyak. ”Itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg,” lanjutnya.
Ketiga, sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal. Karenanya, sistem proporsional tertutup belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Keempat, bakal membuat penguatan kelompok oligarki di internal partai politik. Bahkan memungkinkan adanya pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.
“Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak enggak kenal dengan daftar list nama calegnya. Pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya,” kata dia.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno (UBK) itu berpendapat upaya mengembalikan disain sistem pemilu proporsional tertutup menjadi koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka. Baginya, kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.
Menurutnya, kekuatan sistem propoprsional terbuka terletak pada figur kandidat populis. Tapi di lain sisi, melemahkan partai politik. Malahan tidak menghormati proses kaderisasi di partai politik. Sementara proprosional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik. Baginya, terdapat sejumlah alasan sistem proporsional terbuka mampu merusak partai politik.
Dia menilai proporsional terbuka dapat melemahkan partai politik ketika adanya caleg yang benar-benar kampanye menggunakan visi dan misi yang telah disusun partai. Karenanya, para caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya masing-masing. “Bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain,” kata dia.
Dia melanjutkan proporsional terbuka cenderung menyebabkan pemilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian. Nah sistem proporsional terbuka ditengarai menyebabkan salah satu alasan rendahnya party identification alias derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan. Berdasarkan pengamatannya, hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
“Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu persentase party-ID di Indonesia tetap rendah,” ujarnya.
</body>KEORGANISASIAN














ANGGOTA JDIH
DAFTAR ANGGOTA JDIH SE-KABUPATEN BANYUWANGI